Desember, Cepatlah Pergi!

Tidak terasa sudah berada di penghujung tahun ini, tepat di tanggal 31 Desember 2018. Ada baiknya mencoba untuk mengingat kembali apa saja yang sudah terjadi sebelumnya, tentang peristiwa-peritiwa yang sudah terlewat begitu saja. Tentang tahun ini, bisa kusebut dengan “Tahun Keguguran”, sebab banyak bencana di mana-mana, banyak nyawa berguguran, banyak orang menangisi kehilangan. Tahun ini negeriku sedang berduka, begitu pula dengan hatiku.

Ia menangis tersedu-sedu akibat ditinggalkan dari orang yang terkasih. Iya, aku cengeng, begini saja bersedih. Iya, aku cemen, begini saja sudah mau mati. Tapi percayalah, rasanya menyakitkan ketika orang yang sudah dipercaya dengan sepenuh hati malah menghancurkan perasaanmu hingga remuk berantakan tak ada arti. Aku bahkan tak menyangka patah hati bisa sesakit ini. Aku kira semakin menua, semakin kebal dengan patah hati. Ah... ternyata dugaanku salah kaprah.

Aku masih ingat jelas pertemuan singkat kita di malam itu, saat kali terakhir mata kita saling bertatap, namun hati sudah tak lagi menetap. Aku kira di malam itu, kita masih baik-baik saja. Semua salahmu sudah aku maklumi sebab aku masih ingin menjaga komitmen yang sudah kita rawat bersama. Lalu kau mulai membuka pembicaraan yang sama sekali tidak aku mengerti. Kau terus berbicara tanpa henti, sampai aku tak sempat untuk membalas. Masih teringat jelas pada sepenggal kalimat yang keluar dari mulutmu di malam itu.

Kau berucap, “Tenang saja, denganku atau tidak denganku, kamu masih tetap akan baik-baik saja.” sambil menepukkan telapak tangan kananmu tepat di dada kiriku saat jantung berdebar dengan hebatnya.

Pembohong.

Bagaimana bisa semua akan tetap baik-baik saja, selagi kau pernah menjadi bagian dari bahagiaku. Tidak. Semua tidak akan baik-baik saja. Kau hanya membual lewat omongan manismu.

Waktu berlalu cukup lama semenjak malam itu, dan hatiku masih belum bisa pulih sepenuhnya. Lagi-lagi aku dibohongi waktu. Sial. Waktu tidak akan pernah bisa menyembuhkan sepenuhnya, tetap masih ada bekas yang tidak akan pernah hilang, berupa: kenangan. Bagaimana bisa aku melupakan masa lalu semudah itu? Mungkin kau harus mencungkil dulu otakku dari kepala lalu menghapusnya secara permanen. Itu pun kalau kau bisa memilih kenangan mana yang mau kau hapus seutuhnya.

Dan saat harapanku sudah mulai usang dimakan zaman, kau datang lagi dengan mengawali, “Hai, apa kabar?”. Anggapku biasa saja. Mungkin kau hanya ingin memperbaiki suasana yang sudah terlanjur berantakan di masa lalu. Tapi kau mulai menghubungiku secara berkala, sampai ponselku berbunyi lebih sering dari biasanya bahkan mencoba untuk merampas perhatianku kembali seperti sediakala. Aku pikir sepertinya ada yang aneh denganmu, bukannya saat itu kau sudah memantapkan hati untuk meninggalkan? Kau bahkan melukai dengan sadarnya. Lalu datang lagi saat aku sedang bersibuk menyusun kepingan patahan yang disebabkan olehmu.

Sudah, kau yang menang. Kali ini aku mengaku kalah. Meski kau menang, hatiku tak bisa kau menangkan kembali sebab ia sudah patah terlalu parah. Sekarang saatnya aku yang mengucapkan padamu,

“Tenang saja, denganku atau tidak denganku, kamu masih tetap akan baik-baik saja.”


Tahun ini benar-benar menakjubkan, aku belajar banyak dari setiap kejadian untuk lebih bisa menghargai perasaan. Tapi aku juga tak ingin berlama-lama menetap di tahun ini, rasanya sudah tak sabar menanti segala kejutan di tahun depan. 

Maka... Desember, cepatlah pergi. Aku sudah lelah berduka. Lalu, biar perasaan hancur ini lenyap dimakan waktu meski masih tersisa bekas rasa kesedihan.


Comments

Popular Posts