Fragmen Kosmik Di Sorot Matanya

Kira-kira empat bulan berlalu setelah aku bertemu dengan dia untuk yang pertama kalinya. Ada yang berbeda setelahnya. Entah, sulit aku jelaskan dengan lugas. Tapi tubuhku jelas ada yang berubah. Meski terasa samar, namun aku yakin kadar hormon serotonin dalam tubuhku mendominasi. Menekan hebat perasaan stres dan cemas sehingga hormon kortisol seakan tak punya ruang untuk mengusik.

Aku masih ingat dengan jelas saat dia tepat berada di sampingku. Tiba-tiba mulutku menjadi gugup dan menjawab pertanyaan darinya dengan serampangan kemudian rasanya saat tidak sengaja mata kita saling menatap, waktu menjadi melambat ekstrem seperti berada terlalu dekat dengan Gargantua. Sepersekian detik momen yang tercipta di antara tatap kita seperti terjadi dilatasi waktu, detik melamban dan ritme detak jantungku menjadi pelan.


Hari demi hari setelahnya aku lewati dengan suka cita, perasaan bahagia yang langka kini mulai melekat seiring ritme detak jantungku yang lebih stabil.

Bagaimana kamu biasanya sebut perasaan semewah ini? Jika ini yang disebut jatuh cinta, aku tidak terima. Sebab ini jauh seribu kali lebih mewah rasanya daripada jatuh cinta yang pernah singgah sebelumnya.

Aku mencari cara agar mampu terkoneksi lagi dengannya. Karena di pertemuan awal benar-benar aku kacaukan. Aku hanya menyimpan nama panggilannya saja di ruang memori ingatanku. Hanya itu yang aku jadikan bekal untuk mencari tahu tentangnya.

Ajaibnya seperti sudah diatur sedemikian rupa oleh Dia Sang Pemilik Segala Rencana, pukul dua pagi jadi saksi bisu aku menemukan dia kembali. Dengan nekadnya memanfaatkan teknologi terkini, aku coba menerobos celah kecil kesempatan itu. Aku paksa jari-jariku untuk mengirimkan pesan singkat berisi sapaan ringan untuknya.

Kamu tahu? Langkah pertama selalu berat dan menakutkan. Aku jelaskan singkat, jantungku berdebar hebat tidak seperti biasanya. Apalagi buatku yang kira-kira sudah tiga atau empat tahun lamanya merasa kosong dan hampa.

Terputar banyak sekali ketakutan aneh di kepala, yang sebenarnya aku ciptakan sendiri karena kerdilnya rasa percaya,



“Nanti kalau pesanku tidak direspon gimana ya?”

“Ah… paling juga dia sudah lupa dengan musang sepertiku.”

“Mustahil perempuan seanggun dia mau mengenalku.”



Dan lagi-lagi, dia berhasil mematahkan segala macam asumsi liar atau bahkan yang terburuk di kepalaku. Bermula dari modal nekad menyapa ringan dan singkat melalui sosial media, lalu berjalan maju saling bertanya bergantian. Meskipun pelan ritmenya, tapi aku suka, tapi aku menikmati setiap kata per kata darinya.

Notifikasi namanya selalu jadi hal yang aku tunggu-tunggu. Pesan panjang darinya kubaca dengan teliti dan seksama seperti membaca buku teks Bahasa Inggris supaya tidak salah aku mengartikan maksudnya.

Serotonin semakin menindas kortisol dalam tubuhku. Senyum kecilku tercipta saat membaca pesan darinya yang ternyata dia pun masih mengingatku dengan menjabarkan momen singkat yang tercipta saat pertemuan itu.

Eureka!

“Aku tidak menyangka dia mengingatku jelas.”

Seketika semacam timbul ledakan besar yang terjadi di dada. Seakan sebuah pencarian panjang yang akhirnya menemukan titik terang. Dalam hati terkecilku, aku membatin, “Aku sudah menemukan.”

Namun, ironinya yaitu aku menyadari setiap rasa yang muncul adalah sementara, begitu pun dengan perasaan yang aku temukan ini. Keterbatasan manusia yang memang dirancang tidak mampu menjadi kekal jadi hambatan menyimpan rasa yang mewah ini. Tidak ingin ini hilang begitu saja lalu lenyap, maka aku abadikan dengan lugu ke bentuk tulisan.

Supaya di lain waktu, aku bisa menikmati segala macam keterbasan ini.





Gargantua

lubang hitam supermasif fiktif yang divisualkan sangat ilmiah, terkenal karena efek waktu yang melambat ekstrem di dekatnya.

Comments

Popular Posts