Perayaan Tahun Kelima
10 Juni 2020.
Iya, sudah lima tahun berlalu sejak kematianmu. Dan di tahun ini akan aku rayakan dengan menuliskan segala macam hal yang sudah berlalu lama, tapi pedihnya masih terasa nyata.
Aku mulai dengan banyak maaf untukmu.
Bapak, maaf, kolam ikan kesukaanmu di depan rumah sudah aku ratakan menahun yang lalu. Soalnya setiap pagi kalau aku lihat malah semakin menyayat hati. Aku juga sudah tidak sudi menguras kolamnya sendiri. Apalagi melihat ibu yang selalu sedih setiap kali memberi makan ikan-ikannya.
Pekarangan kecil di sekitar rumah yang biasanya kamu isi dengan ragam tanaman juga sudah aku tindih semen hari ini. Agar tidak perlu lagi ada kesedihan yang tumbuh di rumah ini.
Kemudian aku lanjutkan dengan membuka kembali ingatan yang semakin menggores hati.
Aku masih ingat betul, di tahun kedua kematianmu. Aku berhenti memakai baju bekasmu dan mulai mengosongkan setumpuk bajumu dari dalam lemari. Tapi istrimu malah mengomel dan memarahiku. Katanya dengan napas yang berantakan, "Baju bekas bapakmu jangan dibuang, cuma ini yang ibu punya kalo kangen dia."
Pedih.
Istrimu yang cantik ini benar-benar mencintaimu, pak. Aku ceritakan ya, dengan tiba-tiba dia cetak foto pernikahanmu saat kalian masih terlihat muda dulu. Ditempel di tembok kamarnya supaya setiap malam saat tidurnya tidak terasa sendirian dan kesepian.
Jika kamu ingin tahu bagaimana kondisi keluargamu saat ini, maka bagian ini aku ceritakan sedikit keadaannya ya, bapak.
Banyak hal yang berubah semenjak kamu menyatu dengan angkasa. Aku yang punya semakin sedikit waktu di rumah, ibu yang sibuk menata jiwanya, dan kakak yang sudah pulang untuk berjuang dengan hidupnya.
Kami bertiga masih belajar menerima dan berbenah, tapi kami seringkali masih saja suka kehilangan arah. Sebab kehilanganmu artinya sama saja kehilangan kompas untuk terus melangkah.
Bapak...maaf lagi ya.
Masuk tahun kelima ini, aku sudah coba untuk mengunjungimu tapi belum berhasil. Tepat di depan pagar rumah barumu dan rasanya dua kakiku gemetar, otot-ototku kaku, bisikan-bisikan asing menggema di kepala, "Belum layak kamu temui dia." Entah suara siapa itu yang datang menyambar, tapi terdengar terlalu nyata. Aku memilih berbalik badan dan pulang saja. Menyedihkan ya, pak.
Jadi, maaf...
Maka, baris selanjutnya ini menjadi penutup sebagai perayaan lima tahun untuk mencoba menerima kepergianmu.
Mungkin di tahun-tahun selanjutnya atau entah kapan, nanti aku kunjungi kamu bukan dengan perasaan duka lagi. Tapi menerima dengan penuh kalau aku sudah mampu membasuh nisanmu dengan tanganku sendiri sambil diiringi doa-doa.
Sampai jumpa kapan-kapan. Dadah!
Comments
Post a Comment