Malfungsi Empati

Terbangun dari tidurnya semalam yang kurang nyenyak, dia mulai beranjak dari kasur sempit yang cuma muat untuk satu orang. Tidak langsung penuh sadar, dia masih mengucek mata sebelah kirinya sambil memulihkan kesadarannya. Terlihat sinar matahari mengintip dari sela-sela jendela yang langsung masuk menembus ke dalam kamarnya.

Sudah terbiasa bangun tidurnya kini berantakan. Kalau saja memang benar pepatah “Rezeki dipatok ayam karena bangun kesiangan.”, mungkin ayam-ayam di sekitar rumahnya sudah jadi juragan ayam sebab bangun tidurnya selalu lewat pukul sebelas siang.

Seperti bertransformasi ke arah yang muram, kini dia sudah benar-benar berubah dari yang aku kenal sebelumnya. Seorang yang setiap hari kutemui dengan senyum bahagia dan nada suara yang terdengar selalu ceria menjelma menjadi seorang yang skeptis dengan tatapan yang paling sinis. Tajam.

Jika kamu belum mengenalnya sebelumnya, besar kemungkinan tidak ada keinginan untuk terlibat dengan hidupnya atau untuk sekadar bertegur sapa saja dengannya.

Lalu mengapa aku masih bertahan terlibat dengan hidupnya?

Aku rasa, meski kecil, meski cuma seperjuta persen kemungkinannya, tapi aku selalu percaya sisi baik dan hangat di dalam dirinya tidak pernah mati. Luka akibat trauma emosional yang tertimbun terlalu banyak membuat tubuh canggihnya malfungsi, tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Pilu…

Brr..brr..

Handphoneku bergetar tanda ada notifikasi pesan yang masuk. Hari ini cukup anomali, karena tiba-tiba saja dia mengirimkan pesan singkat kepadaku,

“Besok jam 8 pagi aku mau ngobrol di tempat biasa.”

“OKAY! Aku tunggu ya.” Balasku dengan sangat antusias

Cukup terheran buatku karena kali ini dia mengajak bertemu di pagi hari yang jelas sangat bertentangan dengan pola hidupnya yang baru. Tapi di sisi lain, tidak bisa aku tolak ajakan ini karena aku sendiri ingin tahu keadaannya yang terkini.

Sabtu pagi pukul delapan lewat. Jelas aku terlambat tapi sengaja tidak mengabarinya karena merasa kalau dia belum datang di tempat dan rasanya mustahil dia bisa tepat waktu.

Dari kejauhan aku melihat sosok laki-laki yang familiar sedang duduk di kursi pojok kedai. Kepalanya menunduk terlihat sedang membaca buku dan jemari kirinya menahan sebatang rokok yang menyala. Sesekali tangan kirinya digerakkan mendekati bibir untuk mengisap rokoknya dengan tenang lalu dihembuskan asapnya pelan dan jemari kanannya sibuk menahan buku yang tengah dia baca.

Aku terdiam beberapa detik, barang tiga detik. Lima detik, mungkin lebih untuk memproses kejadian mustahil ini yang aku lihat dengan mataku sendiri. Aku buru-buru memesan es kopi susu favoritku dan langsung berlari kecil menghampirinya.

“Heii! Kamu kok sudah datang duluan? Ini nyata kamu kan? Aku tidak salah lihat atau mungkin aku salah orang ya ini?” sapaku sambil menodongkan banyak pertanyaan kepadanya.

“Hai juga, kamu terlihat cantik dengan cardigan berwarna pink yang baru aku lihat ini.” Balasnya pelan sambil menoleh tepat ke arahku.

Dia langsung mematikan rokoknya yang kurang dari separuh batang itu ke dalam asbak dan menutup buku dengan menyelipkan pembatas halaman dahulu supaya bisa dia lanjutkan bacaannya kembali di lain waktu.

“Jadi setelah satu tahun tidak bertemu, bagaimana kabarmu? Ada apa tiba-tiba ngajak bertemu? Cepat ceritakan! Aku mau dengar apapun darimu sekarang!.” Responku terlewat antusias setelah pertemuan terakhir kita sekitar satu tahun yang lalu.

“Haha..Kamu masih sama tidak sabaran ya. Okay, banyak hal yang mau aku ceritakan. Jadikan persiapkan telinga dan kesadaranmu ya.”

Satu sampai dua jam berlalu tidak terasa, aku cuma menganga mendengar kata per kata dari mulutnya. Kalau saja metamorfosis ada untuk manusia, mungkin bisa aku bilang sosoknya kini sudah metamorfosis menjelma seseorang yang benar-benar berbeda dari pertemuan terakhir kita.

Tatapan yang hangat, nada suara yang lembut, ditambah gestur yang hidup membuatnya seperti terlahir kembali dengan pribadi yang bahkan aku sendiri bingung mendefinisikannya. Dia bukan lagi sosok yang dulu mati rasa.

Aku terharu, air mataku mulai runtuh.

Semakin dia ceritakan lebih banyak tentang segala macam hal yang membuat dirinya lupa menjadi manusia, semakin terdengar parau suaranya. Satu tahun belakangan ini, rupanya dia sedang belajar menjadi manusia kembali. Memulai membaca buku-buku tentang psikologis manusia dan segalanya yang berkaitan. Belajar mengaktifkan kembali fungsi emosi yang tepat dan tentunya memperbaiki empatinya yang sudah lama mati suri.

Satu kata keluar dari mulutku pelan,
“Takjub.”

Dia bahkan merumuskan bahwa manusia memiliki 3 tahap fase kematian;

Tahap pertama, “Manusia mati saat kehilangan ambisinya.”  

Tahap kedua, “Manusia mati saat kehilangan dirinya.”

Tahap ketiga, tahap dimana seluruh manusia akan melewatinya, “Manusia mati saat kehilangan nyawanya.”

Di tengah obrolan kita, dia juga berucap,

“Aku sudah ada menuju ke tahap ke-3, artinya aku sudah mati dua kali. Dan rasanya hidup terlalu sayang banget kalau aku habiskan sisanya hanya untuk menunggu kehilangan nyawa. Jadi aku putuskan untuk menemukan ambisi dan diriku kembali supaya aku bisa mengulangi hidupku lagi dengan cara yang lebih baik.”

Dari pertemuanku dengannya, akupun jadi semakin yakin dan percaya bahwa canggih tubuh manusia selalu bisa diperbarui seperti sistem operasi pada gadget terkini. Kalau teknologimu sudah mulai usang, kamu hanya perlu mengambil napas panjang dan hembuskan lagi, lalu memulai untuk menemukan kembali apa-apa yang membuat hidupmu mundur selama ini.

Mendengar ucapannya, aku belajar kalau manusia selalu bisa jadi versi terbaiknya meski menimbun banyak luka yang belum kunjung sembuh. Terbukti dari banyaknya jatuh yang dia alami, membuatnya semakin pesat untuk terus bertumbuh.

Comments

Popular Posts