Samsara Jelita
Pukul 10 pagi, perasaan tidak tenang, cemas yang terlalu berlebih untuk memulai hari.
Dia masih ada di mana-mana. Melekat di dalam kepala, menjelma debu-debu di kolong meja kerja, sampai meyerupai bulir-bulir darah yang mengalir deras di arteri. Semakin lama, semakin dekat hingga rasanya seperti leher tercekik kuat. Napas terengah-engah, rupanya ini semakin menyiksa. Tapi…
Sebentar. Ada notifikasi baru di handphoneku. Ternyata, dia datang lagi berupa pesan WhatsApp, “Kamu di mana? Balasnya kok lama, lagi sama siapa kamu? JAWAB TELPONKU SEKARANG!”
Tanganku gemetar hebat. Ini bukan kejadian sekali, dua kali, ini bahkan repetitif yang sudah berulang berkali-kali. Meski begitu, jariku tetap gentar menerima panggilan darinya. Karena pasti yang aku dengar adalah segala macam sumpah serapah yang terucap dengan liar tanpa jeda dari mulutnya. Aku bergeming, membiarkan handphoneku bergetar hingga panggilan itu berakhir dengan sendirinya. Tidak berselang lama, muncul lagi serentetan panggilan dengan nomor berbeda yang aku yakin ini adalah panggilan darinya dan diikutin pesan baru lagi di WhatsApp,
“AKU DATANG KE TEMPAT KERJAMU SEKARANG. GAUSAH SOK SIBUK KAMU!”
Sialan. Kali ini terulang lagi, dia akan memaksa menemuiku untuk memenuhi ego liarnya yang tidak bisa dibendung.
Pukul 12 siang, waktu istirahat kerja tiba. Segera aku buru-buru mengambil handphoneku dan menelpon balik dia. Baru saja aku menekan namanya di kontak untuk memanggilnya, tapi ada seorang teman yang memanggil kalau ada seseorang yang sudah menungguku,
“Bro, buru urus tuh biasa ada yang nungguin.”
Terlambat.
Dia sudah ada di depan tempat kerjaku dengan wajah penuh amarah. Dikuasai angkara, dia bereaksi liar memukul kencang tepat di dadaku berkali-kali sambil merengek kencang,
“KAMU SUDAH TIDAK SAYANG AKU LAGI! AKU TIDAK PENTING LAGI DIBANDING KERJAANMU! AKU MAU MATI SAJA, TIDAK ADA YANG PEDULI LAGI SAMA AKU!”
Aku selalu benci situasi seperti ini, segala macam jawaban rasional dan nyata seperti; “Aku tadi masih repot harus selesaikan report dulu.” Atau “Tadi pagi ada meeting dadakan jadi harus fokus dulu sama tim, aku tidak ke mana-mana, kerja seperti biasa kok.” Tidak bisa juga membuat rengeknya berhenti.
Sekitar dua puluh menit berlalu, dan tangisnya sudah mereda. Baru kita kembali bisa mengobrol dengan sedikit tenang,
“Aku sudah mengabari sampai di tempat kerja, kita juga sudah sepakat kan. Kalau di jam kerja aku slow respon soalnya memang harus fokus kerjaan dulu ya.” Jawabku pelan, sambil mengelus tangan kanannya.
“Tapi aku selalu takut dan tidak tenang kalau kamu tidak respon aku. POKOKNYA AKU GAMAU KAYAK GITU LAGI!” Sontak dia memberontak, membuang tangannya dari genggamanku.
Dia melanjutkan menggerutu hebat dengan meninggalkan luka cakar, di lengan kananku. Kemudian dia kembali pulang seakan puas karena egonya sudah terpenuhi. Lalu aku melanjutkan menghabiskan jam kerjaku sambil meneteskan obat luka dan menahan perih berjam-jam―bahkan berhari-hari selama masih berpasangan dengan dia.
“Apa memang begini caranya berpasangan? Apa sudah benar harus selalu aku yang menanggung semua trauma dan luka masa lalunya? Tapi kenapa rasanya bukan bahagia yang tercipta malah akumulasi ketakutan yang tak ada ujungnya?”
Tanyaku kebingungan sambil melihat bayangan sendiri di cermin kamarku.
Ketakutan yang nyata itu mulai tercipta hari demi hari dan rasanya seperti teror mengerikan yang berkelanjutan. Padahal sudah aku coba untuk berhenti dari hubungan yang payah ini, tapi selalu ketika dia sudah merengek hebat, nyaliku terlalu ciut untuk mengakhiri.
Ini seperti berjalan di atas jalan yang baru saja selesai diaspal. Terlihat mulus, tapi panasnya bisa menyiksa di setiap pijakan kaki-kakimu.
Pun di saat aku mulai memikirkan untuk mati dan menghilang saja dari hidupnya, rasanya seperti ingkar dan perasaan bersalah itu selalu muncul menjelma mimpi buruk di setiap tidur lelapku. Seakan sudah dikultuskan saat Hari Perjamuan Kudus kalau sisa hidupku harus dihabiskan hanya dengannya.
Ironi.
Di hari-hari selanjutnya, aku dan dia hanya terus mengulangi siklus berpasangan yang semakin pilu. Dia yang selalu memberontak dengan berlindung di balik luka masa lalu, dan aku yang semakin takut untuk memulai hubungan dengan orang baru.
Comments
Post a Comment