Separuh yang Luka

Dia tidak benar-benar hidup. Dibilang mati pun juga tidak. Tatapannya seringkali kosong. Melamun menjadi pekerjaan utamanya. Pikirannya entah melayang ke mana-mana. Kadang menyesali terlalu banyak kesalahan di masa lalunya. Kadang berkhayal berlebihan tentang masa depannya.

Cemas, waswas, khawatir, perasaan tidak nyaman, takut kehilangan, merasa tidak pernah sepadan, semua itu seperti sudah menjadi hal-hal biasa yang dia hadapi. Dia rasakan sakitnya satu per satu. Dia mencoba bangkit pelan-pelan meski masih merangkak dengan susah payah.

“Apa lagi yang masih tersisa? Apa lagi yang masih bisa aku jaga? Apa masih ada yang bisa aku percaya?”

Pertanyaan demi pertanyaan yang tak kunjung ada jawabannya.

Pasrah. Tak bisa apa-apa.

Lalu perlahan semakin menambah satu demi satu pertanyaan yang semakin lama membuatnya semakin tidak berdaya. Kata orang, “Berdamai saja.”, “Sudah lupakan saja.”, “Aduh lemah banget gitu aja dipikirin.” Ini bukan pekerjaan sehari dua hari yang bisa langsung diselesaikan. Ini butuh waktu yang dia sendiri tidak tahu entah kapan akan selesainya.

Mungkin saja masih ada luka yang belum bisa disembuhkan sehingga berdamai menjadi hal yang paling sulit untuk dilakukan. Atau mungkin saja dia tidak ingin berdamai dan memilih untuk menyimpan semua rasa sakitnya. Sebagian yang hancur sulit sekali untuk dikembalikan seperti semula. Separuh yang luka akan tetap terluka sampai entah kapan akan sembuh sempurna.

Mungkin bertahan menjadi cara satu-satunya untuk dia agar tetap bisa melanjutkan hidup.

Selagi dia masih bertahan untk melanjutkan hidup, biarkan saja tetap begini, orang lain pun tidak akan mengerti. Cemooh, kebencian, tatapan sinis sudah bukan menjadi hal baru yang dia dapatkan. Musuh terbesarnya saat ini adalah melawan dirinya sendiri.

Memulihkan sebagian kerusakan yang sudah menahun rusak memang bukanlah hal yang mudah. Membangkitkan kembali percaya diri yang meredup agar tetap bisa bertahan hidup.

Perlahan dia bangkit kembali pelan-pelan dengan kecepatannya sendiri.

Satu tahun berlalu semenjak kerusakan parah yang dialaminya, kini dia seperti terlahir kembali. Menatap dunia dengan sudut pandang yang berbeda. Menerima segala macam ketidakmampuan untuk mengontrol hal-hal yang tidak bisa dikontrol termasuk persepsi orang lain. Mengupayakan segala macam hal-hal baik yang bisa diusahakan.

Dan satu hal yang paling penting, kali ini aku lihat dia berusaha keras untuk tidak kehilangan dirinya sekali lagi. Meski terkadang isi kepalanya masih saja berisik saat lewat pukul dua pagi, juga tak semua hal bisa diterima baik sepenuhnya.

Tapi paling tidak, kali ini badannya cukup tegap dan dengan percaya diri dia berucap, “Apapun nanti hambatannya di depan, aku sudah siap melawan.



“Separuh yang luka memang tidak bisa disembuhkan dengan sempurna, dan cara yang paling masuk akal adalah mampu menerima kalau manusia memang punya cela”

Comments

Popular Posts