Tentang Rara dan Macam Hal Lainnya

Namanya Ekavira, karena cukup panjang untuk sebuah nama panggilan, jadi aku biasa memanggilnya dengan panggilan Rara. Perempuan paling berani yang pernah aku temui di kota kecil ini. Dia ceroboh, emosinya kadang meluap tak tentu. Namun Rara cukup tangguh menghadapi banyak hal yang mengahalangi

Sebenarnya aku sudah mengenalnya cukup lama, tapi saat itu masih sangat terbatas untuk kita saling komunikasi. Kemudian belakangan ini, aku jadi cukup sering bertemu dengannya dan mengobrol karena ada kesamaan tujuan dalam hal pekerjaan.

Di momen itu, aku mulai mengenalnya lebih dari sekadar namanya saja. Rara cukup frontal orangnya, meskipun terkadang masih sembunyi-sembunyi untuk terus terang dengan perasaannya.

Dia cukup aktif berbicara. Rara terlihat bersemangat sekali ketika mulai menceritakan tentang dirinya. Rupanya dugaanku salah. Awalnya aku kira dia adalah orang yang pendiam.

Meski suka sekali bercerita, ada momen dimana wajahnya pucat kelelahan seperti orang yang kehabisan tenaga.



“Kenapa tuh wajahmu kayak orang habis mabok begitu?” tanyaku sambil bercanda.

“Gilaa! Capek banget seharian ini, kerjaan juga gak habis-habis, tapi aku masih mau ngobrol dulu.” jawabnya dengan sungguh meski matanya terlihat sayu.



Mulutnya terus mengoceh dari awal sampai ke ujung obrolan. Lalu ketika giliranku tiba untuk bicara, matanya tak pernah lepas dari pandangan, teguh memperhatikan saat aku mulai membalas obrolannya perlahan. Dari obrolan itu aku berpendapat, ternyata tenaga dan keinginannya untuk terus mengobrol tidak sebanding.

Singkatnya, Rara selalu punya cara yang hangat untuk selalu menghargai keadaan. Dia pintar sekali menempatkan dirinya untuk menciptakan perasaan aman. Obrolan saat itu mengalir begitu saja tanpa jeda. Tiga sampai lima jam terlewat, sudah selama itu aku tenggelam dan tetap merasa tenang.

Suatu waktu, aku pernah menanyakan perihal warna apa yang sebenarnya tercipta di dalam dirinya. Sebelum bertanya, aku menebak warna yang hangat seperti, kuning, merah, jingga, dan spektrum warna lainnya yang mendekati kemerah-merahan.

Aku rasa Rara cocok dengan warna-warna hangat tersebut, terlebih dengan diberkahi hal baik lainnya, tidak heran Rara selalu punya tempat di setiap kesempatan. Dia bisa menjelma menjadi lagu-lagu nada minor yang membuat tenang isi kepala. Atau masuk jauh ke dalam pikiran dan menjelma menjadi mimpi-mimpi yang menjaga harapan tetap ada.



“Ra, sebenarnya warnamu tuh apa? Kuning ya?’ tanyaku sambil menebak isi kepalanya.

“Warna ya? Hmm.. Daripada kuning sepertinya aku lebih pilih ingin menjadi biru.” balasnya sambil menatap langit yang sedang cerah-cerahnya di hari itu.

“HAH?! Biru? Maksudku, kamu mellow ya orangnya? Kamu simpan banyak kesedihan ya, Ra?”

“Ya kalau sedih, setiap orang mah punya kesedihannya. Tapi kalau jadi kuning itu rasanya capek tau! Harus bisa nyenengin semua orang itu berat. Aku pilih biru yang damai dan jauh dari konflik.”



Lagi-lagi, Rara membuatnya sulit ditebak. Dia adalah biru, warna biru yang tenang dan damai. Seperti langit biru yang cerah dengan sekejap menenangkan siapapun yang melihatnya tanpa khawatir memikirkan badai merundung ataupun hanya sekadar mendung.

Aku melihat bibirnya tersenyum. Jelas sekali, dia menjaga banyak hal sampai-sampai tidak ingin keributan terjadi.

Rara, atau lengkapnya kupanggil Ekavira. Seperti namanya, yang berarti pemberani. Dia adalah perempuan paling berani yang selalu siap menjadi langit biru yang cerah bagi siapa saja di sekitarnya.



Tetaplah hidup dan bahagia.

Kita bertemu di hari cerah lainnya lagi ya, Ra!

Comments

Popular Posts