Sore Nanti, Dia Tidak Dirayakan Lagi
Sore hari yang teduh saat aku menghabiskan sebatang rokok sambil menunggu jadwal keretaku. Dari area khusus merokok, aku melihat sosok perempuan dari balik punggungnya yang terlihat antusias menantikan sesuatu. Dia sedang celingak-celinguk diantara kerumunan orang-orang yang sedang merayakan pertemuan, juga perpisahan.
Terlihat dengan memakai setelan baju formal warna tosca, dilengkapi dengan pita rambut kecil warna pink menjepit sebagian rambut sampingnya yang terurai lembut sambil membawa tumbler warna ungu kesukaannya yang digenggam erat-erat.
Di depan stasiun kota, aku lihat lagi genggamannya semakin erat seakan tumbler itu tidak boleh lepas darinya. Rupanya, dia sedang menunggu seseorang untuk melepas rindunya yang sudah lama dipendam.
Seorang laki-laki yang ditunggu-tunggu itu muncul tepat di hadapannya. Laki-laki berkacamata dengan memakai kemeja warna merah marun dan celana panjang warna krem. Dia membawa tas punggung warna cokelat yang cukup besar, mungkin saja untuk memuat banyak keperluannya untuk melakukan perjalanan yang jauh.
Perempuan itu langsung memeluk laki-lakinya seakan utang rindunya yang terpendam selama ini sudah terbayar lunas semua saat pertemuan itu.
Sepertinya rindunya hanya sepihak karena saat mereka berpelukan, bibir laki-lakinya tidak tersenyum sama sekali bahkan goresan lekuknya pun tidak tampak. Sementara dia dengan gembira menyambut laki-lakinya sambil kegirangan bahagia, sampai-sampai tumblernya yang berwarna ungu itu terlepas dari genggamannya.
Lalu, dengan respon yang apa adanya, aku mengejar tumblernya yang menggelinding menuju arahku. Kemudian mengambilnya dan berjalan ke arah perempuan itu untuk mengembalikan tumblernya.
Saat mulai mendekatinya, telingaku sedikit mendengar sepenggal percakapan perempuan itu bersama laki-lakinya.
Laki-lakinya melontarkan, "Maaf ya, sudah tidak ada kamu untuk menjadi kita lagi." Dan langsung bergegas berbalik badan untuk segera meninggalkan perempuan itu sendirian.
Pilu. Tumbler yang jatuh dan perasaannya pun runtuh. Kombinasi unik yang baru kali ini aku temui.
Aku mulai mendekati perempuan itu dan permisi untuk mengembalikan tumblernya yang jatuh tadi. Dia bergeming seakan waktu berhenti saat itu juga.
Kemudian tangan kanannya mulai bergerak pelan-pelan menyambut tumbler yang kuberikan sambil membalas singkat dengan suara yang lirih, "Terima kasih."
Perempuan itu pergi begitu saja dengan rintik air mata yang menetes deras, jatuh bergantian sesuai dengan ritme langkah kakinya yang semakin menjauh. Titik-titik bekas tetes air mata di sepanjang langkahnya jadi bukti bahwa tidak semua kisah romansa berakhir indah.
Pedih. Kehadirannya tidak dirayakan dengan meriah.
Comments
Post a Comment