Aku Dihujam Duka Terus-terusan
Bagaimana rasanya ditinggalkan mendadak tanpa aba-aba?
Bagaimana rasanya merasa kehilangan yang teramat dalam sampai mengutuk takdir?
Bagaimana rasanya menyalahkan diri sendiri atas kematian seseorang hingga penyesalan menghantui seumur hidup?
Jadi,
bagaimana rasanya?
Satu
kata. Hancur.
4 tahun sudah berlalu, tapi kematianmu belum bisa aku terima secara penuh. Aku tersiksa dengan ingatan duka yang selalu datang seenaknya ia mau.
Menyakitkan rasanya ketika setiap mataku mulai terpejam dan yang terlihat adalah sekumpulan peristiwa acak yang isinya momen-momen bersama denganmu.
Aku masih ingat, saat kamu mengantarku ke sekolah di saat hujan deras dan badanku melekat erat memelukmu dari belakang untuk berbagi jas hujan denganmu.
Aku masih ingat, saat kita menghabiskan waktu dengan mancing bersama di setiap libur kerjamu. Sebab pulangmu yang 3-5 bulan sekali jadi jarang sekali kita punya waktu bersama.
Aku masih ingat, kamu yang suka sekali dengan ikan akhirnya memutuskan untuk membuat kolam kecil di teras rumah untuk kita rawat berdua seterusnya.
Aku
masih ingat betul semua momen itu dan yang bisa kulakukan sekarang hanya
menyalahkan diriku sendiri. Semua ingatan itu melekat dan kamu tidak lagi
dekat.
Sialan.
Bahkan
menulis ini pun, air mataku memberontak keluar perlahan meskipun sudah kucoba
menahan sekuat mungkin untuk tegar dan menerima.
Sebentar,
aku perlu jeda...
....
....
....
Baiklah,
aku mulai lagi.
Hari-hari aku jalani dengan penuh pengandaian.
Seandainya kamu ada sampai sekarang dan melihatku tumbuh sepesat ini melewati banyak hal dengan terbentur sana-sini hingga terbentuk seperti saat ini.
Sesekali aku muak lalu mengutuk takdir kalau seharusnya jalannya tidak seperti ini.
Berandai-andai jika kamu masih ada dan melihatku dengan bangga memakai toga sebagai tanda aku sudah lulus sarjana.
Seandainya kamu masih bernyawa saat aku menerima gaji pertamaku dan bergantian mentraktirmu ke rumah makan yang pernah kita kunjungi bersama meski harus menghabiskan separuh gajiku.
Kalau saja kamu masih hadir di kehidupanku saat ini, rasanya akan sangat seru sekali bisa bercerita tentang segala macam problematik orang dewasa yang sedang aku hadapi saat ini.
Namun
semua itu hanya pengandaian kosong yang tidak mungkin bisa terjadi.
Retak.
Ketika malam itu aku sedang shift malam di cafe tempatku bekerja part time. Tiba-tiba melihat ada notifikasi dari kakak di layar ponselku yang memberi tahu bahwa kamu sedang dirawat di IGD.
"Sakit apa sampai harus masuk IGD?"
"Separah apa sampai perawatan intensif harus diperlakukan kepadamu?"
"Aku harus gimana? Aku sedang jauh dari rumah."
Kamu tahu?! Pikiranku bercabang ke mana-mana.
Tanpa banyak pertimbangan, aku langsung menerobos dinginnya malam bersama seorang teman dengan tujuan bertemu denganmu sesegara mungkin.
Namun, sekencang motorku melaju tidak mampu melampaui takdir. Aku kalah, takdir menghamtamku telak. Malam itu benar-benar aku merasakan kehilangan yang teramat sangat pedih. Di kepala hanya berputar-putar 1 kata,
"KENAPA?"
"KENAPA?"
"KENAPAAAA?"
Teriak
dalam duka yang menderu tidak dapat mengembalikan nyawamu kembali ke ragamu.
Kesadaranmu sudah hilang total. Tangisan bising memenuhi telingaku menandakan
kamu benar-benar orang yang baik sampai banyak orang yang merasa kehilangan.
Cukup.
Selebihnya akan aku jaga semua hal baik yang kamu tinggalkan. Tapi maaf, kolam kecil favoritmu di teras rumah kita sudah tidak ada. Sudah aku ratakan. Karena melihatnya saja setiap hari malah membuat luka yang tak berkesudahan.
Akan
selalu ada lubang duka di dalam hati yang tidak akan pernah bisa ditutup.
Hari-hari akan kunikmati duka ini sebagai penghormatan untuk selalu
mengenangmu.
Selalu,
selamanya.
Tulisan ini aku buat dengan menuangkan segala macam ingatan yang aku simpan di ruang khusus otakku. Ingatan yang tidak akan aku hapus meskipun penderitaan menjadi harga yang harus aku bayar.
Untuk
kamu yang aku percaya abadi dalam hati selamanya, tunggu aku di tempat
tinggalmu yang baru dan kamu akan mendengarkan banyak sekali ceritaku yang
tidak sempat telingamu dengarkan.
Bapak,
aku sudah cukup tangguh untuk berkelahi dengan hidup. Jadi, lihatlah anakmu ini
sambil duduk manis di surga sana bersamaNya.
Janji, kita akan bertemu sekali lagi dan kekal bersama di sana.
Comments
Post a Comment