Ternyata, Kamu Tidak Seistimewa Itu
Kita terlibat dalam satu momen yang entah sudah diatur atau memang harus terjadi saat itu juga. Aku sudah mengenalmu sebelumnya, tapi hanya sekadar tahu namamu dan perintilan tugas-tugas yang kamu kerjakan setiap hari. Lalu, aku semakin mengenalmu seiring dengan pertemuan dan pertemuan lainnya.
Kita jadi sering mengobrol, bertukar cerita, saling melempar tawa dengan jokes yang receh sebab humorku tidak sebaik Raditya Dika, dan aku lebih sibuk untuk sering menatap matamu.
Rupanya, kamu tidak seceria itu. Aku lihat serpihan kesedihan tepat di pusat retinamu yang hitam legam itu. Matamu sedih. Tapi, mulutmu terus saja mengoceh tak kenal letih tentang hal-hal yang menyenangkan.
Panggil
aku sok tahu!
Namun aku kenal betul tentang tatap yang kesepian, menanggung apa-apa sendiri agar dinilai kuat dan mandiri.
"Kenapa kamu bersikeras sekali menjadi kamu yang bukan kamu?"
"Ketakutan apa yang selama ini kamu sembunyikan di belakang senyum palsumu?"
"Atau mungkin, kamu terlalu takut diasingkan (lagi)?"
Aku mengenalmu lagi, sebagai sosok ceria yang selalu punya sekumpulan cerita. Kataku, kamu hebat!
Tapi, buat apa menjadi menyenangkan jika itu palsu?
Mungkin ini terkesan menghakimi, atau bisa jadi aku tidak mengenalmu sama sekali. Tapi semakin aku mendengar ceritamu, semakin aku menyelami matamu, bukan ceria yang aku temui. Melainkan, kerapuhan.
Aku tidak berharap banyak tentang pertemuan kita selanjutnya. Tapi, bila nanti ada kesempatan di lain waktu, sepertinya tidak ada salahnya kita bisa mengatur hari untuk mengobrol lagi. Dan sampai hari itu tiba, aku harap badanmu selalu canggih untuk mengatasi kerapuhanmu.
Sebab telingaku sudah sangat siap mendengar segala macam jenis ocehan yang sudah kamu persiapkan sebelumnya. Mataku akan sigap merekam pergerakan apapun dari matamu, dan jantungku akan kupersiapkan untuk berdetak seperti semestinya, memompa aliran darah ke seluruh tubuhku dengan lancar dan sadar. Agar saat bersamamu nanti, bisa aku nikmati secara penuh setiap waktu yang berdetik.
Kuharap kamu juga mempersiapkan diri dengan baik. Menyimpan energimu dan tidur dengan cukup, biar nanti rasa kantukmu tidak menyerang lagi seperti malam itu. Wajahmu benar-benar konyol, kamu tahu! Hahaha. Tapi aku apresiasi keinginanmu untuk tetap tersadar dan terus mengobrol.
Aku pun tidak masalah, kalau misalkan kamu menganggapku sebagai sosok unik dan cocok untuk bahan penelitian mandirimu. Sebab kamu suka sekali meneliti manusia, setidaknya aku masih kamu anggap sebagai manusia juga kan. Karena berada di dekatmu saja, sudah membuat energiku kembali terisi penuh.
Meskipun begitu, buatku, kamu tidak seistimewa itu. Terima kasih sudah memberikan warna baru di perjalanan hidupku.
Lekas membaik kamu dan segala macam yang kamu risaukan.
Comments
Post a Comment