Jerit Jemari
Aku menulis ini dalam kondisi setengah sadar di malam yang semakin larut saja, namun mata tetap terjaga sebab masih banyak yang berisik di dalam isi kepala. Perihal kata-kata yang sulit diucapkan oleh lidah, aku selalu payah mengungkapkannya. Bagaimana bisa beberapa dari mereka lancar-lancar saja untuk berkata-kata tentang apa-apa yang ada di dalam isi kepala? Menyebalkan. Kadang aku iri ingin bisa melakukan hal lancang seperti itu. Namun selalu saja semua yang ingin dilontarkan mulut hanya tertahan di pikiran.
Iya. Aku tidak sehebat itu untuk berkata-berkata. Iya. Aku selalu merasa diri tidak pernah pantas. Iya. Aku payah. Keluarkan saja semua hujatanmu kepadaku. Tapi aku tidak akan kalah begitu saja. Aku masih bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Aku masih bisa bertahan dengan segala yang aku punya sampai sekarang. Aku masih mampu merencanakan apa-apa yang aku inginkan, aku masih mampu untuk bertahan hidup lebih lama. Aku masih mampu mengatasi banyak hal dengan caraku.
Aku hampir mati, aku dikhianati, aku dipatahkan berulang kali, hingga menjadi manusia yang paling tidak diinginkan di bumi. Tapi aku masih tetap berdiri. Meski pincang, meski tidak tegap, meski kadang goyah karena terlalu berat. Tapi aku masih kuat untuk berdiri. Aku masih bisa bertahan dengan segala yang aku punya sampai saat ini.
Kau tahu? Jari-jariku menjerit terlalu nyaring tak pernah henti. Setiap saat, setiap jantungku berdetak, setiap waktu, setiap nadiku berdenyut. Aku selalu ketakutan di malam hari menjelang tidur. Banyak sekali yang belum selesai, tapi sudah kupaksa berhenti. Menyakitkan. Pikiranku melayang ke mana-mana. Kadang terbang terlampau jauh ke masa depan yang belum tentu, kadang kembali ke masa lalu yang sudah berlalu. Aku sering kali merasa tidak baik-baik saja, namun selalu kupasang wajah ramah untuk menatap mata orang-orang agar terlihat baik-baik saja.
Pikiran acak yang selalu muncul ketika pukul 2 pagi selalu membombardir sampai aku kewalahan sendiri. Hembusan napas menjadi tidak teratur. Sesak di dada semakin terasa. Ruang tidur rasanya seperti penjara. Aku terperangkap dengan kerumitan yang kubuat sendiri. Merepotkan. Tak ada yang mendengarkan. Tak ada yang benar-benar peduli.
“Kenapa?”
“Kenapa?”
“Kenapa?”
Tanya mereka yang hanya ingin tahu lalu menghakimi sesuka hati. Padahal yang kubutuhkan hanya telinga. Tentu saja, aku punya ragam luka. Aku juga manusia.
Semakin ke sini aku jadi mengerti. Beberapa orang hanya penasaran saja dengan ceritaku, mempermainkan percaya seolah itu hal yang murah. Lalu setelah puas menginitimidasi sampai kau rasanya seperti ingin mati, yang mereka lakukan kemudian pergi. Siklusnya akan terus berputar seperti itu.
Entah sampai kapan.
Meski jeritanku tak pernah didengar, aku masih bertahan dengan sisa-sisa harapan yang masih ada. Aku belum kalah.
Comments
Post a Comment