Utang Rasa

Tulisan ini kutulis tepat 1 hari setelah kepergiannya. Di saat kondisi rumahku masih ramai dengan orang-orang yang sedang berduka. Iya. Dia telah pergi untuk selamanya, dia sudah mati.

Rumahku penuh dengan suara-suara kesedihan dari pagi hingga malam, aku bahkan tidak bisa tidur berhari-hari. Mataku tetap terjaga sampai larut sambil berharap dia pulang ke rumah untuk menemuiku. Bodoh sekali, memang. Aku tahu dia sudah menyatu dengan tanah, aku sendiri yang menguburnya pagi tadi, tapi masih sempat-sempatnya berharap yang seperti itu. Hal bodoh seperti itu mana mungkin terjadi, sama sekali tidak mungkin.

Malam itu aku melihat semuanya. Matanya terlalu merah, meski dia berusaha untuk tetap kuat, tapi matanya tdk bisa berbohong. Air matanya mengalir deras membasahi pipi, baru kali ini aku melihat kakak menangis hebat seperti ini. Dia benar-benar dipenuhi dengan kesedihan. Ibu bagaimana? Jangan tanya kondisinya. Dia terlihat kacau malam itu. Ibu histeris tak henti-henti, bayangkan saja dia terus-terusan menyebut namanya terus-menerus. Bahkan setelah aku selesai menguburkannya, dia selalu meracau, "Di mana? Di mana? Kok ditinggal? Kenapa ga diajak ke rumah? Nanti dia sendirian ga ada temenin di sana." Menyakitkan. Ini benar-benar menyakitkan. Aku harus tabah melepaskan kepergiannya selagi mataku melihat ibu sedang hancur menyaksikan kematiannya. Duniaku benar-benar runtuh malam itu.

Lalu aku sendiri bagaimana? Aku juga bingung dengan kondisku. Aku belum bisa memahami dengan baik apa yang sedang terjadi di sekitarku. Kadang aku bertanya-tanya dalam pikiranku, "Ada apa rame-rame di rumah? Memangnya siapa yang merayakan ulang tahun di sini?" Kacau sekali, untuk berpikir saja jadi tidak jelas begini. Biar kuceritakan sedikit versi dariku.

Malam itu mendadak aku mendapat kabar bahwa dia sudah dibawa ke rumah sakit, masuk ruang IGD. Tentu saja aku langsung panik. Karena saat itu aku sedang berada di kota yang berbeda, aku sempat ragu, apa besok pagi aku pulang untuk menjenguknya atau nekad menerobos malam ini saja. Kemudian aku mendapat kabar lanjutan bahwa dia sudah dipulangkan di rumah. Akhirnya malam itu aku putuskan menerobos pulang dengan harapan kondisinya sudah membaik.

Tiba di rumah sudah banyak orang bergerombol di teras. Aku melihat beberapa orang di depan rumahku memasang raut wajah murung. Aku langsung pastikan apa yang terjadi di dalam rumah. Dan benar saja, aku melihatnya sudah terbaring lemas di depanku. Benar-benar di depan mataku. Wajahnya sangat pucat, lalu ku pegang tangannya terasa dingin.

Nadinya tidak berdenyut, jantungnya berhenti berdetak.

Sang Maha sudah mengistirahatkan dia selamanya. Aku hilang kendali, aku berteriak keras sekali. Aku bahkan tidak terlalu ingat yang aku ucapkan malam itu.

Tapi kata orang-orang, aku terus berteriak kencang, "AYO BANGUN, BUKA MATAMU! AKU SUDAH DI RUMAH. AKU SUDAH PULANG!" Kata-kata itu terus keluar dari mulutku tak henti-henti. Aku berteriak sambil memeluknya erat, erat sekali sampai orang-orang di sekitarku susah payah melepaskannya. Aku yakin sekali itu adalah pelukan paling erat yang pernah aku lakukan.

Penyesalan terbesarku adalah di saat segalanya sudah mulai membaik, aku tidak sempat membuat kenangan indah bersamanya. Bahkan di detik-detik perjuangannya bertaruh dengan hidup, aku tidak ada di samping menemaninya.

Setelah kejadian itu aku jadi sering menangis, terus menangis,

menangis..

menangis..

menangis.. sampai air mata menjadi duka yang paling biasa.


Sialan. Perpisahan belum pernah semenyakitkan ini, bapak.

Comments

Popular Posts