Rekayasa Perasaan


Malam ini, aku sedang terdiam di dalam kamar yang masih saja berantakan dengan tumpukan kertas-kertas yang biasa aku sebut laporan. Akhir-akhir ini ada saja hal mengganggu pikiranku. Entah itu soal tugas kuliah, keluarga atau hal-hal yang merepotkan lainnya. Bukan hanya perihal pikiran, tapi juga tentang perasaan yang kadang-kadang suka merasa seenaknya sendiri. Aku tidak tahu sebenarnya perasaan apa ini. Sudah cukup lama aku merasakan seperti ini, yang aku sendiri sama sekali tidak mengerti.

Hari demi hari berlalu, bulan berganti dan waktu terus bergulir. Aku pikir selain pangan, sepertinya perasaan juga bisa direkayasa. Bukan hanya aku, tapi kita semua paham betul bagaimana caranya mengonversi perasaan kecewa menjadi bahagia. Lalu menyamarkan suara tangisan menjadi suara tawa yang terlalu nyaring sampai orang lain mengira bahwa keadaan masih baik-baik saja.

Namun, aku juga manusia. Aku punya luka. Mereka tidak tahu bagaimana setiap hari aku harus merekayasa senyuman di depan orang-orang. Berpura-pura menerima, padahal hati sedang tersiksa dengan hebatnya. Tapi aku tetap diam saja. Aku tak mau bersuara, sebab suaraku tak pernah didengarkan. Hanya dianggap angin lalu yang tak sengaja lewat begitu saja. Pedih. Tentu saja. Percuma aku bercerita kepada mereka yang malah membanding-bandingkan luka seolah-olah rasa sakit adalah hal yang harus dibanggakan.

Persetan.

Aku tidak butuh segalanya, aku hanya ingin merasakan rasanya bahagia. Aku iri dengan mereka yang bisa tersenyum lepas tanpa harus berpura-pura. 

Beritahu aku bagaimana rasanya bisa saling melempar tawa dengan orang yang tersayang; beritahu aku bagaimana rasanya selalu ada orang yang peduli di saat nasib sedang malang; beritahu aku bagaimana rasanya selalu ada orang yang menuntunmu pulang di saat kau merasa hilang.

Pasti melegakan bukan? Sementara aku harus berjuang sendiri mati-matian.

Tenang saja, aku sudah terbiasa menyapa orang-orang dengan senyum palsuku. Bahkan aku sendiri tidak bisa membedakan antara senyumku yang palsu dengan yang asli. Tapi itu tidak penting, orang lain pun tidak akan menyadarinya. Tidak peduli senyum itu asli ataupun palsu, senyuman tetaplah sebuah senyuman. Tidak ada yang terlihat berbeda.

Aku yang acapkali disetubuhi lara, harus tetap tegar dan tabah. Membiasakan diri bersahabat dengan perasaan yang menyiksa diri sendiri. Tertawa meski meringis, tersenyum meski menangis. Pada akhirnya, hanya aku yang peduli denganku. Bukan kamu, bukan mereka, bukan juga orang lain



"Aku sudah mati dan terlupakan."

Comments

Popular Posts